gado-gado

CINTA YANG TERLAMBAT

Cerpen ini pernaqh dimuat di FEMINA

Awan hitam mengumpul di udara, sepertinya sebentar lagi akan hujan lebat. Aku melihat suasana di luar dari balik jendela ruanganku, sembari menyedu kopi buatan OB.

            Dan benar, tak berapa lama kemudian, hujan turun ditemani dengan petir yang menyambar-nyambar. Udara terasa dingin, aku pun mematikan AC ruangan. Dan kembali ku menikmati suasana di luar, melihat mobil-mobil yang berjalan merayap atau orang-orang yang berlari mencari tempat berlindung dari guyuran air hujan.

            Aku melirik arloji yang melingkar di pergelangan tanganku. Ternyata sudah sore, waktu sudah menunjukkan pukul lima waktu setempat. Sudah waktunya pulang kantor. Pantas saja di luar terasa sepi, tak terdengar suara karyawan yang pada lalu lalang.

            Aku masih menikmati kopiku sembari melihat hujanyang turun dengan lebatnya. Tiba-tiba, terdengar ponselku berdering. Ada pesan masuk dari salah satu rekan kerja.

            Renna, kau benar-benar hebat. Selamat ya, kau memenang tender lagi.

            Aku hanya tersenyum membaca pesan tersebut.  Yaiyalah, aku hebat. Karena aku wanita the best. Batinku seolah menyuarakan kesombongan.

            Bagiku, sudah hal yang terlalu biasa jika aku memenangkan tender seperti ini. Ya, jujur saja aku bangga dengan diriku sendiri. Bukan hanya karena aku sudah berhasil membangun perusahaan furniture tapi juga aku bangga karena aku sudah berhasil menyekolahkan Arief dan Andien, kedua adikku. Arief, satu-satunya anak lelaki di keluargaku sudah berhasil menjadi dokter dan Andien adikku yang paling kecil juga sudah berhasil menjadi desainer, bahkan aku juga memberinya modal untuk Andien mendirikan butik sendiri.

            Ah, pikiranku justeru tiba-tiba teringat akan Iqbal, kekasihku yang terakhir. Hmm, aku lupa sudah berapa tahun aku putus dengannya, sudah berapa tahun aku tak merasakan indahnya pacaran lantaran terlalu fokus pada karier. Ah, aku tak terlalu fokus pada dunia percintaan yang akhirnya hanya menyisakan lara, aku hanya memikirkan masa depan saja. Karena jujur saja, aku bosan menjadi seorang karyawan. Apalagi baground Almarhum Papa yang sebagai seorang akuntan di sebuah perusahaan swasta, gajinya pas-pasan untuk menghidupi Mama dan aku serta adik-adikku, dan setelah Papa meninggal, Mama dan aku harus bekerja karena Papa sama sekali tak meninggalkan warisan.

            Masa-masa itu. Masa di mana aku harus sekolah sembari jualan gorengan dan Mama harus menjual gado-gado keliling komplek. Ya, semua terasa jelas dalam ingatanku.  Bagai film yang diputar di bioskop, nayata dan teramat jelas.

            Tapi semua telah berlalu. Mama dan Papa bisa tenang di Sana karena menyaksikan anak-anaknya telah berhasil menjadi manusia-manusia sukses yang bisa diperhitungkan. Ya, walaupun aku harus selalu mengorbankan cintaku, tapi aku tetap bangga menjadi diriku sendiri.

            Seandainya dulu, aku menerima lamaran Radit yang menginginkan aku menjadi ibu rumah tangga, pasti aku tak akan sesesukses ini. Atau menerima lamaran Farhat yang mengajakku tinggal di luar negeri. Atau kekasihku yang terakhir, Iqbal yang tetap mengizinkan aku bekerja tapi sayangnya aku harus tinggal bersamanya dan kedua orangtuanya. Lantas, bagaimana nasib Arief dan Andien seandainya waktu itu aku menerima salah satu lamaran mereka?

            Kembali, aku mengingat Iqbal. Apa kabarnya lelaki yang berbadan kokoh itu? Entahlah, mengapa tiba-tiba aku merasa merindukannya.

            Biipp, biipp…

            Terdengar ada panggilan masuk ke ponselku. Aku segera mengangkatnya sebelum aku membaca siapa yang menelponku, Fatma, temanku kuliah sewaktu aku mendapatkan beasiswa S2 di Oxford University.

            “Hallo, ada apa Fatma?”

            “Oh ya, kapan? Selamat, ya? Secepatnya aku akan ke tempatmu,” ucapku ke seberang.

            Aku menutup telepon ketika tak lagi ku dengar suara Fatma di seberang sana. Aku menghirup nafas berat. Ah, Fatma, wanita yang usianya 3 tahun lebih muda dari ku itu kini sudah mempunyai seorang anak. Sementara aku? Di usiaku yang sudah menginjak 37 tahun, jangankan anak ataupun suami, kekasihku pun tiada.

***

            Aku sengaja duduk di ruang tengah sembari membaca tabloit terbitan minggu ini. Membaca gosip yang tengah beredar. Sementara Mbok Nah, datang menghampiriku sembari membawakanku jus apel kesukaanku. Tapi tak seperti biasanya, Mbok Nah agak lama berdiri di dekatku.

            “Ada apa, Mbok?” tanyaku penasaran.

            “Hmm, anu, Non,” jawab Mbok Nah agak gagu.

            Aku meletakkan tabloitku. “Mbok, ada apa?” tanyaku dengan nada yang begitu lembut.

            “Simbok mau izin, Non,” ucap Mbok Nah lancar.

            Dahiku berkerut. “Izin?” tanyaku agak kaget sekaligus penasaran.

            “Iya, Non. Anak Simbok di kampung melahirkan, Simbok harus pulang.”

            Aku tersenyum dan mengangguk. “Iya, besok Simbok boleh pulang. Biar besok diantar Mang Diman ke terminal,” ucapku maklum.

            “Terima kasih, Non. Terima kasih.”

            Aku tersenyum melihat Mbok Nah yang nampak kegirangan.

            Ah, kenapa tiba-tiba aku memikirkan anak? Tiba-tiba aku merasakan kerinduan akan kehadiran anak-anak. Mungkin rumahku yang besar ini akan nampak ramai jika ada anak-anak yang merengek manja dan minta mainan kepadaku. Mungkin hati ini akan terasa nyaman seandainya ada yang memanggilku mama. Ah, Fatma saja sudah punya tiga orang anak, sementara Mbok Nah juga sudah mempunyai cucu. Tapi aku…

            Aku merasakan sesuatu yang aneh tengah menjalari perasaanku. Iqbal, anak, semua seakan mengetuk pintu hatiku, menyadarkan aku pada kodratku. Kodratku sebagai wanita, menikah, mengabdi kepada suami dan mempunyai anak.

***

            Semenjak kepulangan Mbok Nah, rumah terasa semakin senyap. Hanya ada aku seorang diri dan satpam yang berjaga di luar. Aku benar-benar merasakan kesepian, waktu pun juga seolah berjalan lamban.

            Aku menatap dapur yang sudah lama tak lama ku sentuh. Aku mendekat. Dalam bayanganku, aku melihat diriku tengah memakai celemek, ada dua orang anak kecil yang tengah berlari kejar-kejaran dan juga ada Iqbal yang menemani kedua bocah itu. Aku tersenyum menyaksikannya. Tapi kemudian…

            Aku sadar, itu hanyalah angan belaka saja.

            Aku tak mau terlalu jauh dalam lamunan konyol ini. Banyak pekerjaan yang malam ini harus ku selesaikan. Aku harus memenangkan tender ini lagi. Aku pun segera mengambil air putih dan membawanya ke ruang kerjaku. Tapi, ah, pikiran macam apa ini? Kenapa bayang-bayang Iqbal dan kedua bocah itu kembali menari-nari dalam anganku?

            Aku mengambil ponselku. Mencari daftar kontak dan aku menemukan nama Iqbal. Aku ragu, apakah nomor telepon Iqbal masih sama dengan yang dulu? Kami sudah lama berpisah, hmm mungkin sudah sepuluh tahun. Tanpa pikir panjang, aku pun menelpon Iqbal.

            “Hallo? Siapa ini?” ku dengar suara Iqal di seberang sana. Masih sama seperti Iqbal yang dulu.

            Aku hanya terdiam. Tiba-tiba air mataku jatuh menetes. Aku ini wanita terbaik, kenapa aku menangis? Aku pasti bisa mendapatkan Iqbal kembali. Batinku menyeruak.

***

            Akhir pekan ini biasanya aku menghabiskan waktuku bersantai di rumah. Tapi tidak untuk kali ini. Aku sengaja mendatangi kedai es krim yang 10 tahun yang lalu menjadi kedai langgananku dengan Iqbal. Tak banyak yang berubah dari kedai ini, warna catnya yang hijau masih tetap sama seperti dulu, mungkin hanya diperbarui saja.  Kursi-kursi tuanya juga masih sama dengan yang 10 tahun lalu aku lihat, ya kedai es krim ini masih sama seperti yang dulu. Hanya waktu saja yang telah berbeda.

            Aku menikmati es krim cokelat kesukaanku, hmm kesukaan Iqbal juga. Ya, kami sama-sama menyukai cokelat. Bagi kami, cokelat itu manis dan membuat kami kehilangan kesedihan. Konyol.

            Aku tersenyum getir mengingat semuanya itu.

            Mataku pun berkeliling melihat orang-orang yang datang silih berganti. Dua bocah yang sepertinya kakak beradik saling berkejaran berebut es krim.

            “Eh, Kakak, itu punya Adik. Jangan diminta, Kakak kan udah punya sendiri,” suara seorang wanita muda yang sepertinya mamanya kedua bocah tersebut.

            Tapi sang kakak sepertinya belum puas jika belum menggoda adiknya. Sang mama dibuat kewalahan oleh kedua bocah tersebut. Ya, aku bisa membayangkan bagaimana rumitnya menjaga dua orang bocah seorang diri. Sulit itu pasti, dan yang jelas harus jauh-jauh dari emosi.

            Tapi semua angan itu hilang seketika. Ketika aku melihat sosok laki-laki yang tak asing bagiku memasuki kedai. Aku ingat betul dengan perawakannya dan cara berjalannya. Lelaki itu pernah menjadi bagian terpenting dalam hidupku selama 3 tahun.

            “Iqbal,” ucapku pelan.

            Aku sedikit kaget. Tapi aku merasa bahagia bisa bertemu dengannya di tempat favorit kami semasa pacaran. Ya, aku yakin, kalau Iqbal tak pernah melupakan tempat ini, sama seperti Iqbal yang pastinya tak pernah melupakanku. Hmm, atau bahkan Iqbal masih sama sepertiku? Melajang dan dia menantiku? Karena aku tahu, tak ada wanita yang seperti aku. Aku tahu itu, karena aku merasakan betapa besarnya cinta Iqbal kepadaku.

            Aku berdiri dan merapikan bajuku. Kakiku berusaha melangkah untuk mendekat ke arah Iqbal. Tapi langkahku seketika terhenti ketika…

            “Papa…” salah seorang bocah yang ku lihat tadi berlari ke arah Iqbal.®

7 thoughts on “CINTA YANG TERLAMBAT”

  1. mungkin kalo ditambahkan lirik lagu diqta “cinta terlambat” akan tambah keren hehe

    salam kenal dari tandapetik.com

  2. Jossssss
    Tinggal gunakan teknik riset keyword, seo on page dan off page supaya bisa menjaring trafik sebanyak mungkin dari google.
    Cuma 1 saja yang perlu di hindari untuk sebuah free blog semacam ini, usahakan tampilan minimalisa dan jangan “lebay” banyak animasi dan warna mencolok malah akan menggangu pembaca, memberatkan loading dan memakan space hosting.

Leave a comment